I. Pengertian
Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja memiliki beberapa defenisi, yaitu;
·
Secara Etimologis :
Memberikan upaya perlindungan yang
ditujukan agar tenaga kerja dan
orang lain di tempat kerja selalu dalam
keadaan selamat dan sehat dan agar
setiap sumber produksi perlu dipakai dan
digunakan secara aman dan efisien.
·
Secara Filosofi :
Suatu konsep berfikir dan upaya nyata
untuk menjamin kelestarian tenaga kerja dan setiap insan pada umumnya beserta
hasil karya dan budaya dalam upaya mencapai adil, makmur dan sejahtera.
·
Secara Keilmuan :
Suatu
cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari tentang cara
penanggulangan kecelakaan di tempat kerja.
Seorang welder
harus memperhatikan keselamatan kesehatan kerja dengan baik dan benar agar saat
melakukan proses pengelasan las listrik dapat berjalan dengan aman dan benar,
apabila dalam melakukan proses pengelasan las listrik seorang welder tidak
memperhatikan keselamatan kesehatan kerja baik bagi dirinya sendiri, alat-alat
serta mesin-mesin yang digunakan
maupun bagi orang-orang disekelilingnya akan berdampak buruk bagi pekerjaan
dalam proses produksinya, itulah yang menyebabkan begitu pentingnya keselamatan
kesehatan kerja bagi seorang welder pada proses pengelasan las listrik.
Ada beberapa tahapan dalam menerapkan kesehatan dan
keselamatan kerja, yaitu;
Sub Kompetensi
|
Kriteria Unjuk
Kerja
|
1.
Mempersiapkan tempat kerja
|
a.
Obat-obatan & peralatan PPPK disiapkan
b.
Peralatan keselamatan dan kesehatan kerja bagi
diri sendiri disiapkan.
c.
Peralatan keselamatan dan kesehatan kerja pribadi
disiapkan agar tidak mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja diri sendiri
dan orang lain.
d.
Alat pemadam kebakaran sederhana, peralatan
perawatan kecelakaan elektris, mekanis dan kimiawi disiapkan
e.
Bahan kimia, bahan bakar dan bahan yang mudah
terbakar dimasukkan dalam tempat yang aman, agar tidak berpotensi terjadinya
kebakaran.
f.
Semua pekerjaan yang berpotensi sebagai sumber
kecelakaan kerja, seperti las, alat listrik, tali crane, dll dipastikan
beroperasi secara aman
g.
Ruang kerja disiapkan agar cukup sinar, cukup
aliran udara, bersih dari segala pencemaran dan tingkat kebisingan rendah.
h.
Kendaraan mobil atau kendaraan lain disiapkan
untuk membawa korban emergency ke dokter atau rumah sakit terdekat.
i.
Sistem pengamanaan alat listrik diperiksa dan
dipastikan bekerja dengan baik.
j.
Pencabangan listrik dengan stop kontak secara
bertingkat harus dihindari.
|
2.
Memakai peralatan kerja
|
a.
Semua peralatan kerja yang dipakai disesuaikan
dengan prosedur SOP dan pemakaian yang aman.
b.
Kelengkapan peralatan kerja yang berhubungan
dengan K3 diperiksa terlebih dahulu.
c.
Semua hubungan peralatan listrik harus dilakukan
secara aman terhadap bahaya kebakaran dan hubung pendek.
d.
Semua peralatan kerja yang dipakai harus tidak
mencemari lingkungan sekitar.
e.
Peralatan kerja yang dipakai tidak boleh mengganggu
keselamatan dan kesehatan kerja orang lain.
|
3.
Melaksanakan pekerjaan
|
a.
Pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur SOP yang
ditentukan..
b.
Selama melaksanakan pekerjaan, harus dihindari
dari timbulnya kecelakaan dan penurunan kesehatan kerja.
c.
Setiap timbul kecelakaan kerja, segera dilakukan
Perto-longan Pertama Pada Kecelakaan (PPPK) , pengobatan di lingkungan kerja
dan tindak lanjut yang diperlukan.
d.
Setiap adanya kesulitan pelaksanan K-3 korban
harus segera dibawa ke dokter atau Rumah sakit terdekat.
|
4.
Mengevaluasi dan memeriksa hasil perawatan
|
a.
Semua kecelakaan yang terjadi dan obat yang
diberikan didiagnosis dan dicatat sesuai dengan ketentuan kesehatan.
b.
Kebutuhan obat-obatan untuk kecelakaan kerja yang
sering terjadi diidentifikasi dan diurutkan dari frekuensi terbanyak.
c.
Segala kejadian yang berhubungan dengan K-3
dicatat dan dievaluasi .
d.
Semua kejadian yang berhubungan dengan K-3
dilaporkan dalam buku laporan secara bulanan sampai selesainya pekerjaan.
|
Keselamatan kesehatan
kerja bagi seorang welder pada proses pengelasan las listrik sangat diperlukan
karena dalam proses produksi suatu pekerjaan dibutuhkan welder yang
produktivitasnya tinggi tanpa merugikan semua pihak yang terkait didalamnya,
baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Pada proses pengelasan las listrik
banyak sekali hal-hal yang membahayakan dan perlu diperhatikan baik bagi
welder, mesin las listrik,dan
orang-orang disekitarnya, hal-hal
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
v
Percikan
bunga api yang dapat membahayakan welder maupun mesin las
listrik yang dapat mengenai kulit, mata
welder dan masuk kedalam
perangkat-perangkat dalam mesin las
listrik, yang semua itu akan
mengganggu berjalannya proses produksi.
v
Asap
las listrik dan debu beracun, dapat membahayakan welder dan orangorang
disekelilingnya, asap tersebut dapat mengganggu proses pernafasan welder.
v
Efek
radiasi sinar ultra violet dan ultra merah las listrik yang dapat membahayakan
kesehatan mata dan organ dalam tubuh welder maupun
orang-orang
disekelilingnya.
Oleh karena itu dalam melakukan
proses pengelasan las listrik setiap welder harus memperhatikan keselamatan
kesehatan kerja yang sesuai.
Dalam melakukan
proses pengelasan las lirtrik harus mematuhi prosedur yang benar terutama pada
keselamatan kesehatan kerjanya, tapi dibalik semua itu tidak menutup
kemungkinan terjadi kecelakaan yang tidak disengaja meskipun telah mematuhi
tentang prosedur keselamatan kesehatan kerja yang benar dan sesuai, apabila
terjadi kecelakaan baik pada welder dan sesuatu apapun yang ada disekelilingnya
harus melakukan pertolongan pertama agar kecelakan itu tidak berakibat fatal
bagi korbannya, dan kemudian diserahkan
kepada ahlinya, agar mendapat
perawatan sesuai prosedurnya dan dapat digunakan kembali sesuai dengan
fungsinya.
Pada proses
pengelasan las listrik terdapat hal-hal yang perlu di perhatikan seorang welder
dan semua pihak yang terkait didalamnya terutama dalam keselamatan kesehatan
kerjanya, hal-hal tersebut diantaranya:
v Memakai apron
yang berbahan dasar kulit hewan/kain yang tebal yang berlapis atau baju dan
celana panjang yang berbahan dasar kain levis untuk melindingi tubuhnya dari
percikan bunga api dan efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang
dapat membahayakan keselamatan kesehatan kerjanya.
v Menggunakan
sarung tangan dan sarung lengan tangan, kedua alat ini berfungsi hampir sama
dengan apron yaitu melindungi dari percikan bunga api dan efek radiasi sinar
ultra violet dan ultra merah yang ditimbulkan oleh las listrik dan untuk memudahkan
pemegangan elektroda.
v Helm las
listrik, helm ini dilingkapi dengan dua kaca hitam dan putih atau satu kaca
hitam yang berfungsi untuk melindungi kulit muka dan mata dari efek radiasi
sinar ultra violet dan ultra merah yang dapat merusak kulit maupun mata, dimana
sinar yang ditimbulkan oleh las listrik tidak boleh dilihat langsung dengan
mata telanjang sampai dengan jarak minimal 16 meter.
v Memakai sepatu
las, untuk melindungi kaki dari percikan bunga api, hal ini tidak terlalu
penting apabila welder telah menggunakan celana panjang yang berbahan dasar
kain tebal seperti kain levis serta memakai sepatu safety yang standart untuk
pengelasan, tetapi tidak ada salahnya jika digunakan.
v Respirator (alat
bantu pernafasan), untuk menjaga pernafasan agar tetap stabil pada saat
melakukan proses pengelasan las listrik dari asap las, dan untuk melindungi
asap dan debu yang beracun masuk ke paru-paru, hal ini boleh tidak dilakukan
apabila kamar las telah mempunyai sister pembuangan asap dan debu-debu beracun
(blower) yang baik, tetapi tidak ada salahnya jika digunakan, karena pernafasan
sangat penting dalam proses metabolisme manusia.
v Hal yang perlu
lainnya seperti “kamar las”, agar welder dapat bekerja tanpa gangguan apapun
yang mengelilinginya dan dapat berkonsentreasi dengan maksimal, kamar las juga
berfungsi agar orang-orang disekelilingnya tidak terganggu oleh yang
diakibatkan oleh las listrik.
Tabel
1 Panduan pemilihan jenis filter/lensa untuk perlindungan mata
Jenis
pekerjaan
|
Diameter
Elektroda (mm)
|
Arus(Ampere)
|
Tingkat
kegelapan
(shade) minimum
|
Tingkat
kegelapan
(shade)
yang
disarankan
|
Las Busur
Listrik – SMAW
|
< 2.5
2.5-4
4-6.4
> 6.4
|
< 60
60 – 160
160 – 250
250 - 550
|
7
8
10
11
|
-
10
12
14
|
Las Busur
Listrik TIG –GMAW (las argon)
|
< 60
60 – 160
160 – 250
250 - 500
|
7
10
10
10
|
-
11
12
14
|
Dalam hal lain
welder juga harus memperhatikan mesin las yang dipakai agar dapat terus
digunakan sesuai dengan fungsinya, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain
adalah:
Percikan bunga api sebaiknya
tidak mengenai mesin las listrik.
v
Mesin
las listrik sebaiknya dimatikan apabila telah selesai digunakan.
v
Kawat
elektroda yang masih aktif dijauhkan atau sebaiknya dihindarkan dari mesin las
listrik.
v
Tidak
menaruh benda apapun diatas atau didekat sekitar mesin las listrik.
v
Mesin
las listrik dibersihkan dari kotoran dan debu setelah selesai digunakan agar
kotoran dan bebu tidak mengendap didalam mesin las listrik.
v
Melakukan
perawatan khusus (shut down) secara berkala agar mesin dapat berfungsi
standart.
v
Sebaiknya
tidak melakukan penggerindaan disekitar mesin las listrik, karena hal tersebut
akan menyebabkan serbuk-serbuk besi masuk kedalam mesin las listrik.
Kebisingan juga
mempengaruhi baik buruknya suatu proses produksi dalam pengelasan las listrik,
karena Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang
merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan
rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup.(JIS Z 8106, IEC 60050-801 kosakata
elektro-teknik Internasional Bab 801:Akustikal dan elektroakustikal).
Kebisingan yaitu
bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu
tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan (KepMenLH No.48 Tahun 1996) atau semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada
tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (KepMenNaker No.51
Tahun 1999).
Diantara pencemaran lingkungan
yang lain, pencemaran/polusi
kebisingan dianggap istimewa dalam
hal :
(1)
penilaian
pribadi dan subjektif sangat menentukan untuk mengenali suara sebagai
pencemaran kebisingan atau tidak
(2)
kerusakannya
setempat dan sporadis dibandingkan dengan pencemaran udara dan
pencemaran air dan bising pesawat merupakan pengecualian.
UNSUR SUARA
Apabila bel
dibunyikan, seseorang menangkap ‘nyaring’, ‘tinggi’ dan ‘nada’
suara yang dipancarkan. Ini merupakan suatu tolak ukur yang menyatakan mutu sensorial
dari suara dan dikenal sebagai ‘tiga unsur suara’. Ukuran fisik ‘kenyaringan’,
ada amplitudo dan tingkat tekanan suara.
Untuk ‘tinggi’
suara adalah frekuensi dan ‘nada’ adalah sejumlah besar ukuran
fisik. Kecenderungan saat ini
adalah menggabungkan segala yang merupakan
sifat dari suara, termasuk tingginya,
nyaringnya dan distribusi spectral sebagai ‘nada’.
FREKUENSI DAN
PANJANG GELOMBANG
Suatu gelombang
suara memancar dengan kecepatan suara dengan gerakan seperti gelombang. Jarak
antara dua titik geografis (yaitu dua titik di antara mana tekanan suara
maksimum dari suatu suara murni dihasilkan) yang dipisahkan hanya oleh satu
periode dan yang menunjukkan tekanan suara yangsama dinamakan ‘gelombang
suara’, yang dinyatakan sebagai l(m).
Apabila tekanan
suara pada titik sembarangan berubah secara periodik, jumlah berapa kali di
mana naik-turunnya periodik ini berulang dalam satu detik dinamakan ‘frekuensi’,
yang dinyatakan sebagai f(Hertz/Hz, lihat gambar gelombang sinusoidal).
Suara-suara ber-frekuensi tinggi adalah suara tinggi, dan yang ber-frekuensi
rendah adalah suara rendah. Hubungan antara kecepatan suara c (m/s), gelombang
l dan frekuensi f dinyatakan sebagai berikut : C = f x l Panjang
gelombang dari suara yang dapat didengar adalah beberapa sentimeter dan sekitar
20m.
Kebanyakan dari
objek di lingkungan kita ada dalam lingkup ini. Mutu suara dipengaruhi oleh
kasarnya permukaan-permukaan yang memantulkan suara, tingginya pagar-pagar dan
faktor-faktor lainnya, akan berbeda sebagaiperbandingan dari panjang gelombang terhadap dimensi objek.
Dari gambar
garis bentuk kenyaringan dari tes (hearing) psikiatris ini bahwa batas
perbedaan suara yang bisa terdengar oleh rata-rata orang adalah 20-20.000Hz
tetapi bisa terdengarnya tergantung pada frekuensi. Kurva menggunakan 1000Hz
dan 40dB sebagai referensi untuk suara murni dan memplot suara referensi ini
dengan tingkat-tingkat yang bisa terdengar dari kenyaringan yang sama pada
berbagai frekuensi.
TIPE-TIPE
KEBISINGAN
Kategori
kebisingan lingkungan dapat dilihat seperti dalam tabel berikut :
Jumlah kebisingan
|
Semua
kebisingan di suatu tempat tertentu dan
suatu waktu
tertentu
|
Kebisingan
spesifik
|
Kebisingan di
antara jumlah kebisingan yang
dapat dengan
jelas dibedakan untuk alasanalasan
akustik.
Seringkali sumber kebisingan
dapat
diidentifikasikan
|
Kebisingan
residual
|
Kebisingan
yang tertinggal sesudah
penghapusan
seluruh kebisingan spesifik dari
jumlah
kebisingan di suatu tempat tertentu dan
suatu waktu
tertentu
|
Kebisingan
latar belakang
|
Semua
kebisingan lainnya ketika memusatkan
perhatian pada
suatu kebisingan tertentu.
Penting untuk
membedakan antara kebisingan
residual
dengan kebisingan latar belakang
|
PENGARUH DAN
AKIBAT DARI KEBISINGAN
Meskipun
pengaruh suara banyak kaitannya dengan faktor-faktor psikologis dan emosional,
ada kasus-kasus dimana akibat-akibat serius seperti kehilangan pendengaran
terjadi karena tingginya tingkat kenyaringan suara pada tingkat tekanan suara
berbobot A dan karena lamanya telinga terpajan terhadap kebisingan itu.
Berikut jenis
dari akibat kebisingan :
Tipe
|
Uraian
|
|
Akibat
lahiriah
|
Kehilangan
pendengaran
|
Perubahan
ambang batas
sementara
akibat
kebisingan,
perubahan
ambang batas
permanen
akibat
kebisingan
|
Akibat
fisiologis
|
Rasa tidak
nyaman atau
stress
meningkat, tekanan
darah
meningkat, sakit
kepala, bunyi dering
|
|
Akibat
psikologis
|
Gangguan
emosional
|
Kejengkelan,
kebingungan
|
Gangguan gaya
hidup
|
Gangguan tidur
atau
istirahat,
hilang
konsentrasi
waktu
bekerja,
membaca dan
sebagainya.
|
|
Gangguan
pendengaran
|
Merintangi
kemampuan
mendengarkan
TV, radio,
percakapan,
telpon dan
sebagainya.
|
BAKU TINGKAT
KEBISINGAN
Baku tingkat
kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang
ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No. 48 Tahun 1996).
Dan kebisingan
yang dapat diterima oleh tanaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (KepMenNaker No.51 Tahun 1999,
KepMenKes No.1405 Tahun 2002).
Agar kebisingan
tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan seperti
penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan,
penanaman pohon, pembuatan bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan
penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan
atau membahayakan.
Selain harus
memperhatikan keselamatan kesehatan kerja welder itu sendiri dan mesin las
listrik, harus mengutamakan keselamatan kesehatan kerja bagi orang-orang
disekitarnya agar terwujud suasana yang kondusif dan produktif dilingkungan
pekerjaan, suasana yang seperti itu akan terwujud apabila semua pihak yang
terlibat didadalm proses pengelasan las listrik selalu
mengingatkan tentang pentingnya
mengutamakan keselamatan kesehatan kerja.
Pada proses
pengelasan las listrik akan terwujud keselamatan kesehatan kerja yang baik
apabila kurang lebih telah memenuhi standart operasional yang telah ditentukan,
dan memakai perlengkapan sefety yang benar dan sesuai. Keselamatan kesehatan
kerja dalam proses pengelasan las listrik akan terwujud apabila didukung oleh
semua pihak baik dari pemerintah dalam bentuk Undang Undang tentang
perlindungan terhadap keselamatan kesehatan kerja dan pihakpihak lain yang
terkait didalamnya.
Keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan,
lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan.
K3 bertujuan
mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero
accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya
(cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3
dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan,
kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau
alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang
disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif.
Konsep ini
diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat
atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat
dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat
sekitar tempat kerja. Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang
mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya. K3
dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang
dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan,
kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet,
kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain.
Norma kerja
berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan
masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda,
pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan
lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa
kecelakaan kerja. Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi
industri di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan
Prancis serta revolusi industri
di Amerika Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar besaran dalam
penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia, pekerja
hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan
barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan
pekerja sebelumnya.
Revolusi
Industri Namun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko
kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan
kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi
perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan
senyawa-senyawa kimia yang dapat
membahayakan keselamatan dan
kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan
lingkungan hidup. Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral
dalam perusahaan.
Pada era in
kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal
risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep
common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi
kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption
(asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002).
Kemudian konsep
ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung
jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar
lingkungan kerja. Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah
ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda
mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai
dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun
1910.
Selanjutnya,
pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan
perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah
berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut
sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang
dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van
Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene
Verkeer in
Indonesia (Peraturan
umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas
umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling
1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids
Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan
sebagainya.
Kepedulian
Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan
menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami
karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan
politik dan keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional
baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional. K3 baru menjadi
perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal
dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan
tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan,
termasuk pengaturan masalah K3.
Hal ini tertuang
dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948
tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan
sebagai norma kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan
program K3.
Tempat kerja
dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di
dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun diruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Menurut
peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syaratkeselamatan kerja sebagai
berikut :
v
mencegah
dan mengurangi kecelakaan
v
mencegah,
mengurangi dan memadamkan kebakaran
v
mencegah
dan mengurangi bahaya peledakan
v
memberi
kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya
v
memberi
pertolongan pada kecelakaan
v
memberi
alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
v
mencegah
dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran,
asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran
v
mencegah
dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik phisik maupun psychis,
keracunan, infeksi dan penularan
v
memperoleh
penerangan yang cukup dan sesuai
v
menyelenggarakan
suhu dan lembab udara yang baik
v
menyelenggarakan
penyegaran udara yang cukup
v
memeliharan
kebersihan, kesehatan dan ketertiban
v
memperoleh
keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya
v
mengamankan
dan memperlancar pengangkitan orang, binatang, tanaman atau barang
v
mengamankan
dan memelihara segala jenis bangunan
v
mengamankan
dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang
v
mencegah
terkena aliran listrik yang berbahaya
v
menyesuaikan
dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yangbahaya kecelakaannya menjadi
bertambah tinggi.
Selain sektor
perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam
sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri
manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.
Di era
globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan
isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup,
kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang
tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan
multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan
terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada
perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai
syarat investasi.
0 komentar:
Posting Komentar