Jumat, 13 April 2012

keselamatan keamanan kerja ( K3 )

keselamatan keamanan kerja ( K3 )
I. Pengertian
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja memiliki beberapa defenisi, yaitu;
·         Secara Etimologis :
Memberikan upaya perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan
orang lain di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat dan agar
setiap sumber produksi perlu dipakai dan digunakan secara aman dan efisien.
·         Secara Filosofi :
Suatu konsep berfikir dan upaya nyata untuk menjamin kelestarian tenaga kerja dan setiap insan pada umumnya beserta hasil karya dan budaya dalam upaya mencapai adil, makmur dan sejahtera.
·         Secara Keilmuan :
Suatu cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari tentang cara penanggulangan kecelakaan di tempat kerja.

Seorang welder harus memperhatikan keselamatan kesehatan kerja dengan baik dan benar agar saat melakukan proses pengelasan las listrik dapat berjalan dengan aman dan benar, apabila dalam melakukan proses pengelasan las listrik seorang welder tidak memperhatikan keselamatan kesehatan kerja baik bagi dirinya sendiri, alat-alat serta      mesin-mesin yang digunakan maupun bagi orang-orang disekelilingnya akan berdampak buruk bagi pekerjaan dalam proses produksinya, itulah yang menyebabkan begitu pentingnya keselamatan kesehatan kerja bagi seorang welder pada proses pengelasan las listrik.

Ada beberapa tahapan dalam menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu;

Sub Kompetensi
Kriteria Unjuk Kerja
1.      Mempersiapkan tempat kerja
a.        Obat-obatan & peralatan PPPK disiapkan
b.        Peralatan keselamatan dan kesehatan kerja bagi diri sendiri disiapkan.
c.        Peralatan keselamatan dan kesehatan kerja pribadi disiapkan agar tidak mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja diri sendiri dan orang lain.
d.       Alat pemadam kebakaran sederhana, peralatan perawatan kecelakaan elektris, mekanis dan kimiawi disiapkan
e.        Bahan kimia, bahan bakar dan bahan yang mudah terbakar dimasukkan dalam tempat yang aman, agar tidak berpotensi terjadinya kebakaran.
f.         Semua pekerjaan yang berpotensi sebagai sumber kecelakaan kerja, seperti las, alat listrik, tali crane, dll dipastikan beroperasi secara aman
g.        Ruang kerja disiapkan agar cukup sinar, cukup aliran udara, bersih dari segala pencemaran dan tingkat kebisingan rendah.
h.        Kendaraan mobil atau kendaraan lain disiapkan untuk membawa korban emergency ke dokter atau rumah sakit terdekat.
i.          Sistem pengamanaan alat listrik diperiksa dan dipastikan bekerja dengan baik.
j.          Pencabangan listrik dengan stop kontak secara bertingkat harus dihindari.
2.      Memakai peralatan kerja
a.       Semua peralatan kerja yang dipakai disesuaikan dengan prosedur SOP dan pemakaian yang aman.
b.      Kelengkapan peralatan kerja yang berhubungan dengan K3 diperiksa terlebih dahulu.
c.       Semua hubungan peralatan listrik harus dilakukan secara aman terhadap bahaya kebakaran dan hubung pendek.
d.      Semua peralatan kerja yang dipakai harus tidak mencemari lingkungan sekitar.
e.       Peralatan kerja yang dipakai tidak boleh mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja orang lain.
3.      Melaksanakan pekerjaan
a.        Pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur SOP yang ditentukan..
b.        Selama melaksanakan pekerjaan, harus dihindari dari timbulnya kecelakaan dan penurunan kesehatan kerja.
c.        Setiap timbul kecelakaan kerja, segera dilakukan Perto-longan Pertama Pada Kecelakaan (PPPK) , pengobatan di lingkungan kerja dan tindak lanjut yang diperlukan.
d.       Setiap adanya kesulitan pelaksanan K-3 korban harus segera dibawa ke dokter atau Rumah sakit terdekat.
4.      Mengevaluasi dan memeriksa hasil perawatan
a.        Semua kecelakaan yang terjadi dan obat yang diberikan didiagnosis dan dicatat sesuai dengan ketentuan kesehatan.
b.        Kebutuhan obat-obatan untuk kecelakaan kerja yang sering terjadi diidentifikasi dan diurutkan dari frekuensi terbanyak.
c.        Segala kejadian yang berhubungan dengan K-3 dicatat dan dievaluasi .
d.       Semua kejadian yang berhubungan dengan K-3 dilaporkan dalam buku laporan secara bulanan sampai selesainya pekerjaan.

Keselamatan kesehatan kerja bagi seorang welder pada proses pengelasan las listrik sangat diperlukan karena dalam proses produksi suatu pekerjaan dibutuhkan welder yang produktivitasnya tinggi tanpa merugikan semua pihak yang terkait didalamnya, baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Pada proses pengelasan las listrik banyak sekali hal-hal yang membahayakan dan perlu diperhatikan baik bagi welder, mesin las listrik,dan
orang-orang disekitarnya, hal-hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
v  Percikan bunga api yang dapat membahayakan welder maupun mesin las
listrik yang dapat mengenai kulit, mata welder dan masuk kedalam
perangkat-perangkat dalam mesin las listrik, yang semua itu akan
mengganggu berjalannya proses produksi.
v  Asap las listrik dan debu beracun, dapat membahayakan welder dan orangorang disekelilingnya, asap tersebut dapat mengganggu proses pernafasan welder.
v  Efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah las listrik yang dapat membahayakan kesehatan mata dan organ dalam tubuh welder maupun
orang-orang disekelilingnya.
Oleh karena itu dalam melakukan proses pengelasan las listrik setiap welder harus memperhatikan keselamatan kesehatan kerja yang sesuai.

Dalam melakukan proses pengelasan las lirtrik harus mematuhi prosedur yang benar terutama pada keselamatan kesehatan kerjanya, tapi dibalik semua itu tidak menutup kemungkinan terjadi kecelakaan yang tidak disengaja meskipun telah mematuhi tentang prosedur keselamatan kesehatan kerja yang benar dan sesuai, apabila terjadi kecelakaan baik pada welder dan sesuatu apapun yang ada disekelilingnya harus melakukan pertolongan pertama agar kecelakan itu tidak berakibat fatal bagi korbannya, dan kemudian diserahkan
kepada ahlinya, agar mendapat perawatan sesuai prosedurnya dan dapat digunakan kembali sesuai dengan fungsinya.

Pada proses pengelasan las listrik terdapat hal-hal yang perlu di perhatikan seorang welder dan semua pihak yang terkait didalamnya terutama dalam keselamatan kesehatan kerjanya, hal-hal tersebut diantaranya:

v  Memakai apron yang berbahan dasar kulit hewan/kain yang tebal yang berlapis atau baju dan celana panjang yang berbahan dasar kain levis untuk melindingi tubuhnya dari percikan bunga api dan efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang dapat membahayakan keselamatan kesehatan kerjanya.
v  Menggunakan sarung tangan dan sarung lengan tangan, kedua alat ini berfungsi hampir sama dengan apron yaitu melindungi dari percikan bunga api dan efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang ditimbulkan oleh las listrik dan untuk memudahkan pemegangan elektroda.
v  Helm las listrik, helm ini dilingkapi dengan dua kaca hitam dan putih atau satu kaca hitam yang berfungsi untuk melindungi kulit muka dan mata dari efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang dapat merusak kulit maupun mata, dimana sinar yang ditimbulkan oleh las listrik tidak boleh dilihat langsung dengan mata telanjang sampai dengan jarak minimal 16 meter.
v  Memakai sepatu las, untuk melindungi kaki dari percikan bunga api, hal ini tidak terlalu penting apabila welder telah menggunakan celana panjang yang berbahan dasar kain tebal seperti kain levis serta memakai sepatu safety yang standart untuk pengelasan, tetapi tidak ada salahnya jika digunakan.
v  Respirator (alat bantu pernafasan), untuk menjaga pernafasan agar tetap stabil pada saat melakukan proses pengelasan las listrik dari asap las, dan untuk melindungi asap dan debu yang beracun masuk ke paru-paru, hal ini boleh tidak dilakukan apabila kamar las telah mempunyai sister pembuangan asap dan debu-debu beracun (blower) yang baik, tetapi tidak ada salahnya jika digunakan, karena pernafasan sangat penting dalam proses metabolisme manusia.
v  Hal yang perlu lainnya seperti “kamar las”, agar welder dapat bekerja tanpa gangguan apapun yang mengelilinginya dan dapat berkonsentreasi dengan maksimal, kamar las juga berfungsi agar orang-orang disekelilingnya tidak terganggu oleh yang diakibatkan oleh las listrik.

Tabel 1 Panduan pemilihan jenis filter/lensa untuk perlindungan mata

Jenis pekerjaan
Diameter Elektroda (mm)
Arus(Ampere)
Tingkat kegelapan
(shade) minimum
Tingkat kegelapan
(shade) yang
disarankan
Las Busur Listrik – SMAW
< 2.5
2.5-4
4-6.4
> 6.4

< 60
60 – 160
160 – 250
250 - 550
7
8
10
11
-
10
12
14
Las Busur Listrik TIG GMAW (las argon)

< 60
60 – 160
160 – 250
250 - 500
7
10
10
10
-
11
12
14

Dalam hal lain welder juga harus memperhatikan mesin las yang dipakai agar dapat terus digunakan sesuai dengan fungsinya, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah:
Percikan bunga api sebaiknya tidak mengenai mesin las listrik.
v  Mesin las listrik sebaiknya dimatikan apabila telah selesai digunakan.
v  Kawat elektroda yang masih aktif dijauhkan atau sebaiknya dihindarkan dari mesin las listrik.
v  Tidak menaruh benda apapun diatas atau didekat sekitar mesin las listrik.
v  Mesin las listrik dibersihkan dari kotoran dan debu setelah selesai digunakan agar kotoran dan bebu tidak mengendap didalam mesin las listrik.
v  Melakukan perawatan khusus (shut down) secara berkala agar mesin dapat berfungsi standart.
v  Sebaiknya tidak melakukan penggerindaan disekitar mesin las listrik, karena hal tersebut akan menyebabkan serbuk-serbuk besi masuk kedalam mesin las listrik.

Kebisingan juga mempengaruhi baik buruknya suatu proses produksi dalam pengelasan las listrik, karena Kebisingan diartikan sebagai suara yang  tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup.(JIS Z 8106, IEC 60050-801 kosakata elektro-teknik Internasional Bab 801:Akustikal dan elektroakustikal).
Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No.48 Tahun 1996) atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (KepMenNaker No.51 Tahun 1999).

Diantara pencemaran lingkungan yang lain, pencemaran/polusi
kebisingan dianggap istimewa dalam hal :
(1)   penilaian pribadi dan subjektif sangat menentukan untuk mengenali suara sebagai pencemaran kebisingan atau tidak
(2)   kerusakannya setempat dan sporadis dibandingkan dengan pencemaran udara dan pencemaran air dan bising pesawat merupakan pengecualian.

UNSUR SUARA

Apabila bel dibunyikan, seseorang menangkap ‘nyaring’, ‘tinggi’ dan ‘nada’ suara yang dipancarkan. Ini merupakan suatu tolak ukur yang menyatakan mutu sensorial dari suara dan dikenal sebagai ‘tiga unsur suara’. Ukuran fisik ‘kenyaringan’, ada amplitudo dan tingkat tekanan suara.
Untuk ‘tinggi’ suara adalah frekuensi dan ‘nada’ adalah sejumlah besar ukuran
fisik. Kecenderungan saat ini adalah menggabungkan segala yang merupakan
sifat dari suara, termasuk tingginya, nyaringnya dan distribusi spectral sebagai ‘nada’.

FREKUENSI DAN PANJANG GELOMBANG

Suatu gelombang suara memancar dengan kecepatan suara dengan gerakan seperti gelombang. Jarak antara dua titik geografis (yaitu dua titik di antara mana tekanan suara maksimum dari suatu suara murni dihasilkan) yang dipisahkan hanya oleh satu periode dan yang menunjukkan tekanan suara yangsama dinamakan ‘gelombang suara’, yang dinyatakan sebagai l(m).
Apabila tekanan suara pada titik sembarangan berubah secara periodik, jumlah berapa kali di mana naik-turunnya periodik ini berulang dalam satu detik dinamakan ‘frekuensi’, yang dinyatakan sebagai f(Hertz/Hz, lihat gambar gelombang sinusoidal). Suara-suara ber-frekuensi tinggi adalah suara tinggi, dan yang ber-frekuensi rendah adalah suara rendah. Hubungan antara kecepatan suara c (m/s), gelombang l dan frekuensi f dinyatakan sebagai berikut : C = f x l Panjang gelombang dari suara yang dapat didengar adalah beberapa sentimeter dan sekitar 20m.

Kebanyakan dari objek di lingkungan kita ada dalam lingkup ini. Mutu suara dipengaruhi oleh kasarnya permukaan-permukaan yang memantulkan suara, tingginya pagar-pagar dan faktor-faktor lainnya, akan berbeda sebagaiperbandingan dari panjang gelombang  terhadap dimensi objek.

Dari gambar garis bentuk kenyaringan dari tes (hearing) psikiatris ini bahwa batas perbedaan suara yang bisa terdengar oleh rata-rata orang adalah 20-20.000Hz tetapi bisa terdengarnya tergantung pada frekuensi. Kurva menggunakan 1000Hz dan 40dB sebagai referensi untuk suara murni dan memplot suara referensi ini dengan tingkat-tingkat yang bisa terdengar dari kenyaringan yang sama pada berbagai frekuensi.

TIPE-TIPE KEBISINGAN
Kategori kebisingan lingkungan dapat dilihat seperti dalam tabel berikut :

Jumlah kebisingan
Semua kebisingan di suatu tempat tertentu dan
suatu waktu tertentu
Kebisingan spesifik
Kebisingan di antara jumlah kebisingan yang
dapat dengan jelas dibedakan untuk alasanalasan
akustik. Seringkali sumber kebisingan
dapat diidentifikasikan
Kebisingan residual
Kebisingan yang tertinggal sesudah
penghapusan seluruh kebisingan spesifik dari
jumlah kebisingan di suatu tempat tertentu dan
suatu waktu tertentu
Kebisingan latar belakang
Semua kebisingan lainnya ketika memusatkan
perhatian pada suatu kebisingan tertentu.
Penting untuk membedakan antara kebisingan
residual dengan kebisingan latar belakang

PENGARUH DAN AKIBAT DARI KEBISINGAN

Meskipun pengaruh suara banyak kaitannya dengan faktor-faktor psikologis dan emosional, ada kasus-kasus dimana akibat-akibat serius seperti kehilangan pendengaran terjadi karena tingginya tingkat kenyaringan suara pada tingkat tekanan suara berbobot A dan karena lamanya telinga terpajan terhadap kebisingan itu.

Berikut jenis dari akibat kebisingan :
Tipe
Uraian
Akibat lahiriah
Kehilangan pendengaran
Perubahan ambang batas
sementara akibat
kebisingan, perubahan
ambang batas permanen
akibat kebisingan
Akibat fisiologis
Rasa tidak nyaman atau
stress meningkat, tekanan
darah meningkat, sakit
kepala, bunyi dering
Akibat psikologis
Gangguan emosional
Kejengkelan,
kebingungan
Gangguan gaya hidup
Gangguan tidur atau
istirahat, hilang
konsentrasi waktu
bekerja, membaca dan
sebagainya.
Gangguan pendengaran
Merintangi kemampuan
mendengarkan TV, radio,
percakapan, telpon dan
sebagainya.





BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No. 48 Tahun 1996).

Dan kebisingan yang dapat diterima oleh tanaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (KepMenNaker No.51 Tahun 1999, KepMenKes No.1405 Tahun 2002).

Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.

Selain harus memperhatikan keselamatan kesehatan kerja welder itu sendiri dan mesin las listrik, harus mengutamakan keselamatan kesehatan kerja bagi orang-orang disekitarnya agar terwujud suasana yang kondusif dan produktif dilingkungan pekerjaan, suasana yang seperti itu akan terwujud apabila semua pihak yang terlibat didadalm proses pengelasan las listrik selalu
mengingatkan tentang pentingnya mengutamakan keselamatan kesehatan kerja.

Pada proses pengelasan las listrik akan terwujud keselamatan kesehatan kerja yang baik apabila kurang lebih telah memenuhi standart operasional yang telah ditentukan, dan memakai perlengkapan sefety yang benar dan sesuai. Keselamatan kesehatan kerja dalam proses pengelasan las listrik akan terwujud apabila didukung oleh semua pihak baik dari pemerintah dalam bentuk Undang Undang tentang perlindungan terhadap keselamatan kesehatan kerja dan pihakpihak lain yang terkait didalamnya.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan.

K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.

Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif.

Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja. Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya. K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet,
kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain.



Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja. Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan
Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia, pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya.

Revolusi Industri Namun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat
membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup. Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan.

Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002).

Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja. Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910.

Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene
Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya.

Kepedulian Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional. K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3.

Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3.

Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun diruang angkasa. Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syaratkeselamatan kerja sebagai berikut :

v  mencegah dan mengurangi kecelakaan
v  mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
v  mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
v  memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
v  memberi pertolongan pada kecelakaan
v  memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
v  mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran
v  mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik phisik maupun psychis, keracunan, infeksi dan penularan
v  memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
v  menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik
v  menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
v  memeliharan kebersihan, kesehatan dan ketertiban
v  memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya
v  mengamankan dan memperlancar pengangkitan orang, binatang, tanaman atau barang
v  mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan
v  mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang
v  mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
v  menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yangbahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Selain sektor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.

Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.

0 komentar:

Posting Komentar

abdoel_rohman © 2008 Template by:
SkinCorner